umyogyak SUN@RTI ANG DH~IR

wellcome to the my bog

Kamis, 24 Maret 2011

Sejarah kelas XI

BAB II
PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA*
2.1 Pertumbuhan Jepang sebagai Negara Imperialis

Sampai dengan pertengahan abad ke-19, Jepang masih
merupakan sebuah negara tradisional yang memperlihatkan
ciri-ciri kehidupan feodalistik. Keadaan ini disebabkan
oleh penerapan kebijakan politik isolasi diri oleh
Rezim Tokugawa1 yang berkuasa di Jepang sejak tahun
1603. Dengan kebijakan tersebut, bangsa Jepang tidak
mau membuka negaranya bagi negara-negara asing karena
merasa khawatir kebudayaan mereka akan terpengaruh oleh
kebudayaan Barat.2 Meskipun demikian, Rezim Tokugawa
masih mengizinkan orang-orang Belanda dan Cina berlabuh
di negaranya dan melakukan perdagangan dengan pribumi
walaupun geraknya di batasi hanya di Pulau Desima dan
Nagasaki. Dalam perkembangan selanjutnya, orang-orang
Belanda ini menjadi perantara bagi orang-orang asing
yang ingin melakukan perdagangan dengan bangsa Jepang.
* Ditulis oleh Miftahul Falah sebagai bagian dari buku Peta; Cikal
Bakal TNI yang diterbitkan tahun 2005 oleh Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga penelitian Universitas
Padjadjaran.
Kenyataan tersebut oleh Amerika Serikat dipandang
sebagai sesuatu yang tidak konsisten dan akan menjadi
penghalang bagi kepentingan negaranya di Cina. Setelah
melepaskan Doktrin Monroe dan mengadopsi teori The Influence
of Sea Power Upon History, Amerika Serikat
mulai berusaha untuk membuka Jepang bagi orang-orang
Barat, khususnya Amerika Serikat.3 Usaha tersebut mulai
dilakukan pada tahun 1852 ketika Presiden Fillmore
mengirim tim ekspedisi ke Jepang, tetapi usaha ini
menemui kegagalan. Baru pada tahun 1853, Amerika
Serikat berhasil mengamankan kepentingannya di Jepang
setelah sebuah tim ekspedisi di bawah pimpinan Komodor
Matthew C. Perry berhasil berlabuh di Teluk Yedo
(sekarang bernama Tokyo). Pada bulan Maret 1856,
Komodor Perry berhasil memaksa Rezim Tokugawa untuk
menandatangani Perjanjian Kanagawa yang berisi: (1)
Rezim Tokugawa harus membuka Pelabuhan Shimoda dan
Hakodata bagi kapal-kapal bangsa asing dan (2) Rezim
Tokugawa menerima keinginan Amerika Serikat untuk
membuka kantor perwakilan diplomatiknya di Jepang.4
Meskipun Rezim Tokugawa mengizinkan bangsa asing
memasuki negaranya, tetapi sebagian besar rakyatnya
memperlihatkan sikap yang berbeda. Sikap tersebut
disebabkan oleh adanya perasaan dalam diri bangsa
Jepang bahwa kehadiran orang-orang asing di negaranya
lambat laun akan menghapus negara kekaisaran. Perasaan
ini didasarkan pada Perjanjian Kanagawa dan berbagai
perjanjian dagang lainnya yang dianggap merugikan
Jepang. Akibatnya, negara Jepang dilanda kekacauan
politik yang berdampak pada melemahnya perekonomian
negara.
Kenyataan tersebut mengakibatkan kewibawaan Rezim
Tokugawa di mata bangsa Jepang semakin melemah sehingga
melahirkan kesadaran nasional yang disimbolkan dengan
munculnya gerakan anti-orang asing pada tahun 1860-an
yang dipelopori oleh kaum bangsawan desa atau kaum
samurai rendahan (shishi). Gerakan ini memperlihatkan
semangat patriotisme dalam pengertian sonnojoi yang
bermakna ‘muliakan kaisar dengan cara mengusir orangorang
biadab’.6 Kekacauan politik tersebut bermuara
pada peristiwa perebutan kekuasaan. Clan Chosu dan clan
Satsuma, sebagai bangsawan desa yang paling
berpengaruh, memegang peranan yang begitu menonjol
dalam peristiwa tersebut. Perebutan kekuasaan itu
berakhir setelah Rezim Tokugawa menyerahkan kekuasaan
atas Jepang kepada Tenno Matsuhito atau lebih dikenal
dengan panggilan Kaisar Meiji.
Setelah mengambil alih kekuasaan dari tangan Tokugawa,
Kaisar Meiji kemudian melaksanakan pembaruan di
berbagai sektor kehidupan. Gerakan pembaruan yang kemudian
lebih dikenal sebagai Restorasi Meiji yang
berlangsung dari tahun 1867-1912 ini bertujuan untuk
menjadikan Jepang sebagai negara modern agar bangsa
Jepang bisa melepaskan diri dari ancaman kekuasaan
negara-negara Barat. Dalam upaya melaksanakan pembaruan
ini, Kaisar Meiji menerapkan kebijakan imitation
country terhadap negara-negara Barat. Modernisasi
pendidikan, industri, militer, dan politik yang
dilakukan oleh Kaisar Meiji semuanya mengacu terhadap
kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara Barat.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau Richard
Storry mengatakan bahwa akibat proses pembaruan Jepang
kemudian dipandang sebagai Murid Barat (Japan as Pupil
of the West).
Restorasi Meiji berupaya untuk menjadikan Jepang
sebagai negara modern dengan meninggalkan gaya hidup
feodalistik. Dengan demikian, perubahan gaya hidup
merupakan proses yang akan ditempuh oleh bangsa Jepang
supaya dapat bersaing dengan negara-negara Barat.
Proses ini kemudian dituangkan dalam konsep
bunmeikaika, yaitu gerakan memperadabkan dan
mencerahkan bangsa Jepang. Dengan semangat ini, Restorasi
Meiji meliputi upaya pembaruan di bidang sentralisasi
dan standardisasi administrasi negara. Pembaruan
di bidang ini dilakukan oleh Kaisar Meiji dengan
cara menghidupkan kembali sistem kekaisaran pada tahun
1867 yang diikuti oleh pembentukan propinsi di seluruh
negara Jepang pada tahun 1871. Pada tahun 1885, Kaisar
Meiji menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada kabinet
yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan dibantu
oleh beberapa orang menteri.
Selain itu, kebebasan untuk berpolitik mulai diakui
oleh Kaisar Meiji. Berkaitan dengan itu, pemerintah
memberikan kelonggaran kepada rakyatnya untuk
mendirikan partai politik sebagai alat menyalurkan
aspirasi politik mereka. Kebijakan tersebut dikeluarkan
oleh Kaisar Meiji sebagai antisipasi terhadap gerakan
yang merasa tidak puas terhadap pemerintah. Dari sekian
banyak partai politik yang paling menonjol adalah
Seiyukai Party (Partai Liberal) yang didirikan oleh
Itagaki Taisyke dari clan Satsuma dan Minseito Party
(Partai Progresif) yang didirikan oleh Okuma Shigenobu
dari golongan intelektual dan pengusaha. Pada dasarnya,
kedua partai ini memiliki tujuan yang sama, yaitu
menyebarkan ide-ide modernisasi ke seluruh lapisan
masyarakat. Salah satu tuntutan kedua partai ini adalah
perubahan konstitusi karena konstitusi yang ada pada
saat itu terkesan seolah-olah negara bukan milik
rakyat, melainkan milik segelintir orang yang memiliki
kekuasaan. Terhadap tuntutan ini, pada tanggal 11
Februari 1889, Kaisar Meiji mengesahkan konstitusi baru
yang berdampak pada perubahan struktur pemerintahan.
Berdasarkan konstitusi tersebut, Kaisar Meiji tetap
pemegang kekuasaan tertinggi, tetapi dibantu oleh Diet
atau parlemen yang terdiri atas Dewan Agung dan Dewan
Perwakilan Rakyat. Tugas pokok dari parlemen adalah
mengawasi jalannya pemerintahan supaya tidak otoriter.
Setahun kemudian, untuk mengisi kursi parlemen Kaisar
Meiji menyelenggarakan pemilihan umum.8
Untuk mewujudkan perubahan gaya hidup, hal penting
yang dilakukan oleh Kaisar Meiji adalah melakukan
pembaruan di bidang pendidikan. Pembaruan di bidang ini
berupaya untuk membentuk kesadaran bangsa Jepang untuk
meninggalkan feodalisme dan menggantikannya dengan
kehidupan modern. Hal-hal yang bersifat takhayul yang
terkait erat dengan kehidupan feodalisme harus
ditinggalkan oleh bangsa Jepang dan menggantikannya
dengan budaya berpikir ilmiah. Meskipun demikian, nilai-
nilai tradisional yang dianggap masih relevan terus
dipertahankan sehingga bangsa Jepang menjelma sebagai
sebuah bangsa yang mampu memadukan gaya hidup lama
bangsa Jepang dengan gaya hidup modern yang ditirunya
dari negara-negara Barat.
Sehubungan dengan itu, pada tahun 1871, Kaisar
Meiji memutuskan untuk membentuk Kementerian
Pendidikan. Sistem pendidikan yang dikembangkan meniru
sistem pendidikan yang berkembang di Amerika Serikat.
Pemerintah juga banyak mendatangkan tenaga pengajar
dari Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis serta banyak
mengirim rakyatnya untuk belajar di negara-negara
tersebut. Kurikulumnya tidak hanya berisikan kehidupan
tradisional, tetapi dipadukan dengan perkembangan ilmu
yang terjadi di negara-negara Barat. Sejak dari
pendidikan dasar hingga menengah, para pendidik mulai
menanamkan budaya berpikir rasional dan mulai mengikis
pola pikir tradisional yang masih kental dengan hal-hal
yang berbau mitologi.9
Selain itu, pemerintah pun mendorong rakyatnya
untuk secara aktif memajukan pendidikan. Dorongan tersebut
ternyata ditanggapi secara positif oleh
masyarakat yang terlihat dari didirikannya berbagai
universitas dengan kurikulum modern. Sekadar contoh,
bahwa pada masa ini telah lahir beberapa perguruan
tinggi yang didirikan oleh masyarakat, seperti The
Imperial University, Doshida University, dan Waseda
University. Kurikulum yang dikembangkan oleh ketiga
perguruan tinggi tersebut memperlihatkan perpaduan
harmoni antara kebudayaan Jepang lama dan kebudayaan
Barat. Kelak, para lulusan ketiga universitas ini
berperan aktif dalam melahirkan generasi berkultur
modern dengan semangat kultur Jepang. Pembaruan di
bidang pendidikan kemudian dipadukan secara harmoni
dengan pendidikan agama yang berlandaskan pada
sintoisme. Hasilnya berupa jati diri bangsa Jepang
yang maju di bidang ilmu dan teknologi, tetapi tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional Jepang.
Selain dipengaruhi oleh keberhasilan memperbarui
bidang politik dan pendidikan, percepatan penyebaran
ide-ide pembaruan dipengaruhi pula keberhasilan inovasi
teknologi komunikasi, media massa, dan transportasi
yang dilaksanakan pada tahun-tahun awal Restorasi
Meiji.10 Pada tahun 1869, Pemerintah Jepang mulai
membangun komunikasi telegrafik yang diikuti dengan
pembangunan kantor pos pada tahun 1871. Keduanya
memiliki fungsi tambahan, yaitu sebagai tempat diperolehnya
berbagai informasi dalam rangka pertahanan
nasional. Demikian halnya juga dengan sektor transportasi,
Pemerintah Jepang meyakini bahwa sektor ini memiliki
fungsi yang strategis dalam membangun peradaban
bangsa. Sama halnya dengan sektor komunikasi, sektor
ini pun tidak hanya memiliki fungsi sebagai alat
pembangunan ekonomi, melainkan juga memiliki fungsi sebagai
alat pertahanan negara. Berkait dengan tersebut,
sejak tahun 1872, Pemerintah Jepang mulai membangun
prasarana dan sarana transportasi baik transportasi
darat maupun laut.
Pembaruan yang dilakukan oleh Kaisar Meiji berhasil
menjadikan negaranya sebagai negara industri yang
mulai disegani oleh negara-negara Barat. Sebagai sebuah
negara industri, bangsa Jepang dihadapkan pada dua
permasalahan penting. Pertama, bagaimana memperoleh
sumber bahan mentah (raw material resources) yang sangat
dibutuhkan untuk mempertahankan kesinambungan industrialisasinya.
Kedua, bagaimana memasarkan hasil-hasil
industrinya ke luar Jepang sehingga akan memberikan
keuntungan ekonomis bagi negaranya. Kedua persoalan itu
kemudian ditafsirkan oleh sebagian bangsa Jepang sebagai
cara untuk mengamankan kepentingan Jepang di
negara-negara tetangganya. Mereka beranggapan bahwa
satu-satunya jalan yang mesti ditempuh oleh Pemerintah
Jepang adalah melakukan ekspansi terhadap negara-negara
di sekitar Jepang terutama yang memiliki potensi sumber
daya alam dan dapat dijadikan pasar bagi hasil industri
negaranya. Oleh karena itu, Kaisar Meiji beranggapan
bahwa kekuatan militer Jepang harus diperbarui pula.
Upaya Pemerintah Jepang untuk memodernisasikan
militernya secara tidak langsung sangat diuntungkan
dengan posisi negaranya yang dijadikan sebagai buffer
state (negara penyangga) bagi negara-negara Barat yang
memiliki kepentingan di Asia-Pasifik. Dengan posisi
tersebut, Pemerintah Jepang secara leluasa dapat
membangun kekuatan militernya tanpa memperoleh gangguan
dari negara-negara Barat. Hanya dua angkatan yang dibangun
oleh Jepang, yakni angkatan darat dan angkatan
laut sedangkan angkatan udaranya diintegrasikan sebagai
bagian dari masing-masing angkatan. Kaisar Meiji
membangun kekuatan Angkatan Darat dengan meniru
Angkatan Darat Prancis, tetapi kemudian berpaling ke
Angkatan Darat Jerman. Sementara itu, Angkatan Laut
Inggris dijadikan sebagai rujukan untuk membangun
kekuatan Angkatan Laut Jepang.11
Keberhasilan Jepang membangun kekuatan militernya
diujicobakan dengan melakukan ekspansi ke Cina pada tahun
1894. Setelah melakukan peperangan dengan tentara
Cina selama satu tahun, pada tanggal 17 April 1895,
Jepang mengakhiri peperangan tersebut yang ditandai
dengan ditandatanginya Perjanjian Shimonoseki. Berdasarkan
perjanjian itu, Jepang memiliki kekuasaan atas
beberapa wilayah Cina, yaitu Pulau Formosa (Taiwan),
daerah Kwantung, Port Arthur, dan Dairen.12 Penguasaan
atas beberapa wilayah Cina tersebut menandai dimulainya
era baru Jepang sebagai negara imperialis.
Kemenangan tersebut membawa dampak yang besar bagi
bangsa Jepang untuk menjadi yang termaju di antara
bangsa Asia lainnya. Halangan utama yang harus segera
diatasi oleh Jepang adalah memotong kepentingan Rusia
di wilayah Asia Timur. Membiarkan Rusia memiliki pelabuhan
air hangat akan sangat membahayakan Jepang sehingga
politik air hangat Rusia itu perlu diakhiri
sedini mungkin. Untuk memotong kepentingan Rusia atas
Asia Timur-Pasifik, pada tahun 1904, Jepang menyerang
pangkalan militer Rusia di daerah Manchuria. Satu tahun
kemudian, Jepang berkuasa atas wilayah Manchuria bahkan
sampai ke Pulau Sakhalin Selatan. Keberhasilan ini sangat
mengagumkan bagi sebagian negara-negara Asia dan
dianggap sebagai awal kebangkitan Asia. Ekspansi Jepang
ke daratan Asia Timur semakin kuat seiring dengan aneksasi
Semenanjung Korea pada tahun 1910.
Pada masa Perang Dunia Pertama, bangsa Jepang
bergabung dengan negara-negara Barat untuk memerangi
kekuatan militer Jerman dan Turki. Setelah peperangan
ini berakhir pada tahun 1919, Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
menyerahkan seluruh jajahan Jerman di Pasifik Selatan
kepada Pemerintah Jepang. Di satu sisi, keberhasilan
tersebut memberikan rasa bangga pada diri bangsa
Jepang. Akan tetapi, pada sisi lain hasil-hasil ekspansi
yang diperoleh tersebut melahirkan ketidakpuasan
di kalangan sebagian masyarakat Jepang. Perasaan ini
lahir sebagai suatu reaksi terhadap berbagai kebijakan
yang ditetapkan oleh Amerika Serikat dan Inggris, terutama
yang berkaitan dengan masalah perimbangan kekuatan
militer dunia.13 Pemerintah Jepang memang tidak
dapat menolak kepentingan Amerika Serikat dan Inggris
karena secara ekonomi mereka masih sangat bergantung
pada kedua negara tersebut. Lambat laun, seiring dengan
semakin menebalnya nasionalisme pada diri bangsa
Jepang, berbagai kebijakan tersebut oleh sebagian
masyarakat Jepang dianggap sebagai upaya mengerdilkan
kembali bangsanya dalam pergaulan internasional. Untuk
melepaskan ketergantungan ekonomi kepada negara-negara
Barat, bangsa Jepang berusaha untuk menguasai wilayahwilayah
yang dipandang memiliki sumber daya alam vital,
seperti minyak bumi. Berkaitan dengan ini, Angkatan
Laut Jepang memandang wilayah Selatan, khususnya Indonesia,
sebagai daerah yang harus dikuasai oleh Jepang.
Penguasaan terhadap wilayah ini akan menjamin hidup
bangsa Jepang yang memang tidak memiliki sumber daya
alam yang melimpah.
2.2 Perkembangan Awal Teori Ekspansi Jepang ke Indonesia
dan Reaksi Kaum Pergerakan Nasional
A. Pandangan Angkatan Laut Jepang terhadap Indonesia
“… Kita perlu memanfaatkan tanah Selatan yang luas
beserta sumber alamnya yang kaya yang dibiarkan begitu
saja tidak dikembangkan. Lagi pula, membebaskan
dan menolong bangsa-bangsa di Selatan dari
keadaan yang prihatin ini merupakan tanggung jawab
Jepang sebagai pemimpin Asia Timur Raya … . Mereka
menjual bahan baku, kita menjual barang jadi. Hubungan
erat laksana bibir dengan gigi ini merupakan
syarat mutlak pengembangan Asia Timur Raya”.
Tulisan tersebut merupakan pernyataan Sato Shinen,
seorang ahli pikir Rezim Tokugawa, yang selalu menekankan
perlunya bangsa Jepang melakukan ekspansi ke
Selatan. Dalam kurun tahun 1930-an, pernyataannya ini
kemudian menjadi pandangan resmi Markas Besar Angkatan
Laut Jepang yang boleh dikatakan sebagai wujud persaingannya
dengan Markas Besar Angkatan Darat Jepang.
Pengingkaran bangsa Jepang terhadap kemerdekaan
dan kesamaan (freedom and equality) tidak dapat
dilepaskan dari keberhasilannya menjadi sebuah negara
industri yang diakui keandalannya oleh bangsa-bangsa
Barat. Bangsa Jepang perlu mengamankan wilayah-wilayah
yang mendukung proses industrialisasinya, baik wilayah
yang memiliki sumber daya alam maupun wilayah yang memiliki
potensi sebagai pasar hasil industrinya. Dengan
perkataan lain, ekspansi yang dilakukan Jepang ke Indonesia
tidak dapat dilepaskan dari upaya Pemerintah
Jepang untuk memperluas ruang penghidupannya
(lebensraum), baik secara politik maupun ekonomi.
Meskipun secara umum rencana ekspansi tersebut
merupakan isu yang dapat diterima oleh bangsa Jepang,
tetapi pada kenyataannya terdapat perbedaan pandangan
mengenai rencana ekspansi itu sendiri. Angkatan Darat
Jepang lebih memprioritaskan untuk melakukan ekspansinya
ke Daratan Cina dan Semenanjung Korea. Oleh
bangsa Jepang, pandangan ini kemudian lebih dikenal
dengan sebutan ekspansi ke daerah Utara. Di lain pihak,
Angkatan Laut Jepang dalam setiap kesempatan selalu
menyebarkan pemikiran bahwa pengembangan negara Jepang
bukanlah di daerah Utara (Daratan Cina dan Semenanjung
Korea), melainkan ke wilayah Selatan, yaitu negaranegara
yang sekarang termasuk ke dalam kawasan Asia
Tenggara. Pandangan ini tercermin dari kebijakan luar
negeri Angkatan Laut Jepang yang dimuat dalam Kaigun
Yoran terbitan tahun 1933.
Bangsa raksasa Jepang, Jepang, sekarang telah mengulurkan
kedua tangannya. Tangan kiri mencengkeram
Daratan Tiongkok, tangan kanan mencengkeram Pasifik.
Politik terhadap Daratan Tiongkok dan Pasifik
harus dilakukan secara serentak …. Adapun mengenai
tempat Jepang bersandar itu, Negeri Jepang tetap
negeri kepulauan sampai dunia kiamat karena ini
merupakan kehendak Dewa meletakkan negeri Jepang di
lautan. Negeri kepulauan ini tidak akan berubah
menjadi negeri daratan. Oleh sebab itu, betapapun
pentingnya Manchuria dan Mongolia itu, tidak lain
hanya merupakan garis gizi Jepang saja.14
Pada awalnya, prioritas pertama sasaran ekspansi
tersebut adalah Filipina, namun sejak tahun 1933
berubah menjadi Indonesia. Perubahan ini semata-mata
disebabkan oleh melimpahnya sumber daya alam, khususnya
minyak yang dimiliki oleh Indonesia. Oleh karena itu,
Angkatan Laut Jepang sangat berkepentingan terhadap
Indonesia, terlebih-lebih sebagai upaya menjaga
persaingan dengan Angkatan Darat Jepang yang sudah
memantapkan kekuasaan politiknya di Manchuria dan
Mongolia.
Bagi Angkatan Laut Jepang, Indonesia merupakan
sebuah bentangan geografis yang jika dikuasai akan
mampu menjamin kebutuhan Jepang akan sumber daya alam.
Jika mereka berhasil menguasai wilayah ini, maka
Pasifik sebagai garis nyawa (seimeisen) Jepang dapat
dikuasai secara sempurna. Dengan perkataan lain,
Angkatan Laut Jepang telah secara jelas memfokuskan
sasarannya pada wilayah Selatan, terutama Indonesia,
dalam rencana perluasan kekuasaan negara kekaisaran.
Perbedaan pandangan ini kemudian semakin menajam ke
arah persaingan antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut
Jepang mengenai rencana perluasan wilayah penghidupan
bangsa Jepang.15
Potensi sumber daya alam, terutama minyak bumi,
merupakan landasan utama Markas Besar Angkatan Laut
Jepang dalam mengembangkan rencana ekspansi ke Selatan.
Markas Besar Angkatan Laut Jepang memang sangat
berkepentingan untuk mengamankan penyuplaian minyak
karena mereka merupakan konsumen terbesar di Jepang.
Dalam hal ini, Itagaki Yoichi menulis
“demi membela diri … perdamaian abadi Asia Timur,
pengiriman minyak dari Selatan (Asia Tenggara) terlebih-
lebih dari Indonesia merupakan syarat mutlak.
Dalam makna ini, sungguh-sungguh minyak merupakan
awal dan akhir politik ekspansi ke Selatan (Nanshin)
Jepang”.16
Memasuki tahun 1940-an, perhatian Angkatan Laut
Jepang terhadap Indonesia semakin memperlihatkan
rencana kongkret ke arah rencana ekspansi. Dengan
mengacu pada hasil berbagai penelitian mengenai wilayah
Selatan dari tahun 1930-1940, Departemen dan Markas
Besar Angkatan Laut Jepang berhasil menyusun sebuah
brain trust untuk menyelesaikan masalah Selatan.
Kebijakan damai merupakan langkah awal yang akan
diambil oleh bangsa Jepang untuk menguasai Indonesia.
Kebijakan damai ini kemudian dirumuskan oleh Letnan
Kolonel Ogi Kazuto dari Forum Peneliti Gabungan
Angkatan Laut Jepang menjadi sebuah rencana aksi
Angkatan Laut Jepang. Pertama, menyusun kekuatan yang
layak pada pangkalan-pangkalan strategis. Kedua,
melakukan penelitian tentang berbagai unsur di Hindia
Belanda dan sekitarnya. Ketiga, mencari jalan untuk
memperoleh minyak dan sumber alam penting lainnya
dengan cara berusaha untuk memengaruhi pihak Hindia
Belanda sekaligus mempersiapkan diri kita sendiri
sebagai antisipasi menghadapi perubahan situasi
internasional. Keempat, memengaruhi dan memanfaatkan
penduduk asli setempat yang antipemerintah. Kelima,
berusaha memengaruhi dan merangkul orang Cina
perantauan dan pengusaha lainnya supaya menguntungkan
Jepang. Keenam, melakukan pra-operasi terhadap wilayah
yang tidak begitu dipentingkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda, seperti Celebes, New Guinea, dan wilayah
lainnya.17
Apabila kebijakan damai ini tidak dapat
dilaksanakan, Angkatan Laut Jepang menggariskan bahwa
kebijakan kekuatan militer merupakan jalan terakhir
untuk menguasai Indonesia. Terhadap kebijakan ini,
Angkatan Laut Jepang menyusun rencana dengan landasan
“campuran budi dan wibawa (lunak dan keras) terhadap
penduduk setempat”. Oleh para petinggi militer Jepang,
Indonesia dikategorikan sebagai bagian dari
Persemakmuran Asia Timur Raya bersama-sama dengan
seluruh negara yang terletak di wilayah ini. Para
petinggi militer Jepang merumuskan empat alternatif
bentuk penguasaan wilayah Indonesia, yakni (1) secara
murni menjadi wilayah Jepang, (2) menjadi negara
perlindungan (protektorat) Jepang, (3) menjadi daerah
otonom, dan (4) menjadi negara serikat.18
Dalam pandangan Angkatan Laut Jepang, alternatif
yang paling tepat untuk menguasai Indonesia adalah
menjadikan wilayah tersebut sebagai negara perlindungan
Jepang. Militer Jepang terlebih dahulu harus menduduki
Indonesia secara militer, kemudian menjalankan
pemerintahan militer untuk mengamankan kedaulatan penuh
Jepang atas wilayah tersebut. Apabila situasi telah
memenuhi syarat, wilayah tersebut akan diberi status
setengah merdeka sebagai “Negara Kebangsaan Hindia
Timur”. Hubungannya dengan Pemerintah Jepang akan
diikat melalui sebuah perjanjian yang menetapkan Jepang
sebagai negara pelindung bagi negara baru tersebut.19
Meskipun demikian, sampai bulan Juli 1941, belum
terdapat perjanjian antara Angkatan Laut dan Angkatan
Darat Jepang mengenai pembagian daerah kekuasaan mereka
di Indonesia jika militer Jepang berhasil menduduki
Indonesia.
B. Reaksi Kaum Pergerakan Indonesia
Ketika Angkatan Laut Jepang mulai mengampanyekan
rencana ekspansi ke wilayah Selatan, pergerakan
nasional Indonesia sedang memasuki fase kedua, yakni
tumbuhnya semangat nasionalisme Indonesia. Semangat ini
dirumuskan pada tahun 1925 dalam sebuah Manifesto
Politik oleh Perhimpunan Indonesia yang mencakup tiga
buah prinsip nasionalisme, yaitu (1) kebebasan
(kemerdekaan), (2) kesatuan, dan (3) kesamaan. Sudah
barang tentu sifat nasionalisme itu antikolonial
sehingga dalam rangka program perjuangan nasional
tercantum prnsip nonkooperasi terhadap penguasa
kolonial.20
Di lain pihak, dilihat dari sisi propaganda yang
dilakukan oleh Angkatan Laut Jepang berkaitan dengan
rencana ekspansi mereka ke Indonesia, dalam batas-batas
tertentu dapat diterima sebagai sesuatu yang tidak
bertentangan dengan semangat nasionalisme Indonesia.
Oleh karena itu, sangatlah masuk akal kalau para
pemimpin pergerakan nasional Indonesia memperlihatkan
sikap simpati terhadap Jepang. Organisasi politik pun
memperlihatkan sikap simpati terhadap gerakan pan-
Asianisme yang dipropagandakan oleh Angkatan Laut
Jepang. Meskipun demikian, ada juga tokoh pergerakan
nasional dan organisasi politik yang memperlihatkan
sikap simpatinya tersebut secara hati-hati.
Sebelum tahun 1930-an, sebagian kelompok elite
intelektual bangsa Indonesia menyadari bahwa
ekspansionisme Jepang di Pasifik Barat akan berbenturan
dengan negara imperialis Inggris dan Amerika Serikat.
Dalam kaitan ini, masa depan Indonesia diperkirakan
akan mendapat pengaruh dari persaingan negara-negara
adikuasa tersebut. Soekarno merupakan salah seorang
tokoh pergerakan Indonesia yang dengan tajam mengkritik
kebijakan ekspansionisme Jepang ke wilayah Selatan.
Bukan saja kebijakan tersebut bertentangan dengan
slogan-slogan yang dilontarkan oleh Jepang, melainkan
juga bertentangan dengan keinginan negara-negara Asia
untuk mencapai kemerdekaannya.
Pada tahun 1930, ia mengatakan dengan tegas bahwa
Jepang merupakan satu-satunya negara imperialis modern
di Asia yang akan menjadi ancaman bagi perdamaian dan
keamanan bangsa-bangsa di Lingkaran Pasifik. Soekarno
mencap bahwa slogan “Jepang sebagai perintis bagi
bangsa-bangsa tertindas di Asia” merupakan sebuah
penipuan dan kebohongan serta tidak lebih dari sebuah
ilusi para nasionalis Jepang konservatif. Pan-Asianisme
yang dipropagandakan oleh Jepang bukanlah gerakan
kebangkitan Asia untuk Asia, melainkan sebagai upaya
untuk mengukuhkan kekuasaan imperialisme Jepang atas
bangsa-bangsa Asia. Untuk mencapai pan-Asianisme yang
sesungguhnya, diperlukan suatu kekompakan di antara
bangsa Asia untuk melawan setiap negara imperialis,
termasuk menentang kebijakan Jepang yang mengembangkan
rencana imperialisme terhadap wilayah Selatan.21
Akan tetapi, kesadaran Soekarno mengenai
imperialisme Jepang merupakan sikap minoritas dari kaum
pergerakan nasionalis Indonesia. Secara umum, masyarakat
Indonesia melihat Jepang dengan kesan positif,
yakni sebagai sebuah negara Asia yang telah berhasil
dengan cepat mencapai modernisasi. Lebih dari itu,
setelah Perang Dunia I, barang-barang keperluan seharihari
buatan Jepang yang sangat murah tapi berkualitas
mulai menyerbu pasar Indonesia. Ditambah lagi dengan
pelayanan yang diberikan oleh para pedagang Jepang yang
“ramah dan tak pernah melepas senyum” turut memperkuat
rasa simpati masyarakat Indonesia terhadap Jepang.22
Di antara tokoh pergerakan nasional Indonesia yang
memperlihatkan sikap simpati, antara lain dapat
dikemukakan Gatot Mangkoepradja, Mohammad Hatta, Sam
Ratulangie, dan Ahmad Soebardjo. Mereka telah melakukan
hubungan dengan beberapa tokoh dan kelompok nasionalis
Jepang sebelum Perang Pasifik pecah. Namun demikian,
sikap simpati yang diperlihatkan oleh keempat tokoh
pergerakan nasional menunjukkan derajat yang berbeda
seperti akan diuraikan berikut ini.
Hubungan antara Gatot Mangkoepradja dengan tokohtokoh
nasionalis Jepang pada awalnya tidak dapat
dilepaskan dari kegiatan perdagangan yang ditekuni
Gatot Mangkoepradja sejak tahun 1930-an. Dalam rangka
ini, pada tahun 1933 bersama-sama dengan Parada Harahap
dirinya melakukan kunjungan ke Jepang. Berbarengan
dengan kunjungannya itu, pada bulan Desember 1933 di
Tokyo diselenggarakan Kongres Pan-Asia dan dirinya
menghadiri kongres tersebut sebagai wakil Indonesia.
Setelah menghadiri kongres tersebut, lahir kesan yang
begitu mendalam bahwa Jepang benar-benar bertekad untuk
menjadikan “Asia untuk Bangsa Asia”.23
Setibanya di Indonesia, di bawah bendera pan-
Asianisme, Gatot Mangkoepradja mulai melakukan
aktivitas dengan berusaha memajukan hubungan persahabatan
dengan Jepang secara dinamis, namun sangat
hati-hati. Dalam melaksanakan usaha demikian, ia mulai
mendekati orang-orang Jepang yang tinggal di Pulau Jawa
yang umumnya berperan sebagai pedagang. Dalam
perkembangan selanjutnya, demi mewujudkan kemerdekaan
Indonesia, Gatot Mangkoepradja secara terang-terangan
menyatakan sebagai orang yang pro-Jepang sehingga sejak
saat itu setiap gerak-geriknya mulai secara ketat
diawasi oleh aparat kepolisian Hindia Belanda.24
Aktivitasnya ini yang kelak mendorong Pemerintah
Militer Jepang melibatkan dirinya dalam proses
pembentukan Tentara Peta.
Sikap berbeda dengan Gatot Mangkoepradja
diperlihatkan oleh Mohammad Hatta, salah seorang
pemimpin utama pergerakan nasional Indonesia. Dalam
batas-batas tertentu, ia tidak menentang Jepang
terutama yang berhubungan dengan gerak dinamisnya
menjadi sebuah negara modern. Selebihnya, Mohammad
Hatta memperlihatkan sikap kritis, terutama yang
menyangkut kebijakan ekspansi Jepang ke negara-negara
Asia yang dibungkus dalam konsep gerakan pan-Asianisme.
Dalam suatu kesempatan, ia mengunjungi Jepang
sekitar tahun 1933. Dalam kunjungannya itu, ia
mengingatkan para mahasiswa Indonesia yang belajar di
Jepang bahwa menggantungkan nasib bangsa kepada negara
lain (Jepang) tidak akan mampu melahirkan bangsa
Indonesia yang mandiri. Ia berkata, “Dalam hal politik,
kita harus berhati-hati. Jepang adalah negara yang kuat
perekonomiannya. …. Tidak ada negara di mana pun yang
memberikan bantuan tanpa maksud apa-apa”.25
Lebih jauh, Hatta melihat bahwa pan-Asianisme yang
diusung oleh Jepang telah dikotori oleh kekuasaan
fasisme Jepang yang bermimpi menjadi pemimpin di Asia.
Suatu saat, gerakan ini akan mendorong Jepang untuk
membentuk tanah jajahan di Asia seperti telah dilakukan
terhadap Cina dan beberapa negara Asia lainnya.
Kemerdekaan yang dicita-citakan oleh Indonesia tidak
dapat ditukar dengan apa pun juga. Pan-Asianisme yang
dibarengi oleh ambisi kekuasaan fasis Jepang untuk
menjadi pemimpin Asia tidak dapat berjalan beriringan
dengan perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai
kemerdekaannya. Oleh karena itu, gerakan tersebut
secara tegas ditolaknya dengan cara menentang imperialisme
yang hendak dikembangkan oleh Jepang.26
Sikap yang sama diperlihatkan juga oleh Ahmad
Subardjo, salah seorang pemimpin pergerakan nasional
Indonesia. Hubungannya dengan Jepang dilandasi oleh
suatu kesadaran bahwa antara pergerakan nasional
Indonesia dan gerakan pan-Asianisme Jepang memiliki
kesamaan untuk memudahkan rakyat Indonesia melepaskan
diri dari kolonialisme Belanda.27 Dengan demikian, pada
awalnya dirinya memperlihatkan sikap simpati terhadap
Jepang yang memandang cukup memiliki kekuatan untuk
membebaskan Asia dari kekuasaan negara-negara Barat.
Dalam perkembangan selanjutnya, ia mulai
menyangsikan keinginan Jepang untuk membebaskan Asia
dari cengkeraman penjajahan negara-negara Barat.
Prinsip “di bawah pemimpin Jepang” merupakan hal yang
dipertanyakan oleh Ahmad Subardjo untuk mewujudkan pan-
Asianisme. Dengan prinsip tersebut, peluang untuk
menjadikan Jepang sebagai negara imperialis sangat
terbuka lebar. Membiarkan prinsip ini dikembangkan
tanpa diupayakan untuk dihentikan akan membuat “…
bangsa-bangsa di Asia sebagai budak Jepang demi
keuntungan negara Jepang sendiri”.28 Kesangsian itu
semakin memuncak seiring dengan dijadikannya teori
ekspansi ke Selatan menjadi kebijakan negara Jepang.
Sutan Sjahrir memperlihatkan sikap berbeda dengan
keempat tokoh pergerakan nasional yang telah disinggung
sebelumnya. Ia memperlihatkan sikap menentang terhadap
gerakan pan-Asianisme Jepang dan mengatakan bahwa sikap
simpati terhadap Jepang yang diperlihatkan oleh rekanrekan
seperjuangannya dilatarbelakangi oleh belum
adanya kesadaran bahwa Jepang sedang tumbuh menjadi
sebuah negara imperialis.29 Ketiadaan kesadaran ini
justru sangat membahayakan bangsa Indonesia yang
mencita-citakan kemerdekaannya.
Dalam pandangan Sjahrir, Jepang tidak lain adalah
sebuah negara totaliter Asia Timur yang paling menonjol
sifat ultranasionalismenya. Sebagai seorang yang
mengagungkan demokrasi, dirinya sangat membenci
totaliterisme yang dikembangkan oleh Jepang karena akan
menghancurkan demokrasi. Oleh karena itu, tidaklah
berlebihan kalau Sjahrir memandang Jepang bukan objek
kehormatan intelektual, terlebih lagi kebijakan
ekspansi ke Selatan merupakan ancaman nyata terhadap
cita-cita kemerdekaan Indonesia.30 Sikapnya tersebut ia
pertahankan secara konsisten ketika Jepang menduduki
Indonesia tahun 1942. Dirinya, bersama-sama dengan dr.
Tjipto Mangunkusumo mengembangkan sikap nonkooperasi
terhadap Jepang. Sikap keduanya kemudian didukung penuh
oleh Gerindo yang menjadi organisasi pergerakan paling
anti-Jepang.31
2.3 Invasi dan Pendudukan Jepang
Pada tahun 1940, kebijakan ekspansi Pemerintah
Jepang memperlihatkan perubahan yang cukup menentukan.
Kabinet Konoye mengumumkan bahwa dalam rangka
mengembangkan wilayah Kemaharajaan Jepang, bangsa
Jepang akan melakukan ekspansi ke Utara dan Selatan
dalam waktu yang bersamaan. Selain itu, ekspansi
tersebut bertujuan juga untuk menguasai sumber daya
alam yang sangat dibutuhkan oleh Jepang. Penguasaan
terhadap sumber daya alam merupakan faktor terpenting
yang mendorong Pemerintah Jepang mengembangkan
kebijakan ekspansi ke Utara dan Selatan.32 Pada
kenyataannya, berbagai sumber sejarah menunjukan bahwa
minyak bumi Indonesia merupakan daya tarik utama bagi
Jepang untuk melancarkan Perang Pasifik pada akhir
tahun 1941.33
Angkatan Darat yang pada awalnya kurang memiliki
perhatian ke Selatan, mendukung penuh Kebijakan Kabinet
Konoye tersebut. Pada bulan Mei 1940, Departemen
Angkatan Darat Jepang secara terbuka mengakui bahwa
“saat ini, garis nyawa Jepang berada di Selatan ….
Secara jelas kita katakan, masalah minyak itu, tidak
ada cara lain kecuali kita ambil dari Hindia Belanda”
meskipun perhatian utama mereka tetap ke Cina
Daratan.34 Perhatian Angkatan Darat Jepang terhadap
Selatan semakin jelas seiring dengan dirumuskannya
kebijakan ekspansi Angkatan Darat bertajuk Garis Pokok
Penanganan Situasi Seiring dengan Peralihan Situasi
Dunia. Pada tanggal 27 Juli 1940, Pemerintah Jepang
menyelenggarakan Rapat Permusyawaratan Markas Gabungan
Pemerintah Jepang untuk membahas haluan negara sebagai
landasan pelaksanaan ekspansi. Dalam rapat
permusyawaratan tersebut, Usui Shigeki (Kepala Seksi
Operasi Militer Markas Besar Angkatan Darat),
memaparkan Garis Pokok Penanganan Situasi Seiring
dengan Peralihan Situasi Dunia tersebut. Pertama,
ekspansi ke Selatan merupakan salah satu bagian dari
upaya menyelesaikan masalah Cina. Kedua, jalur
diplomasi bukanlah satu-satunya jalan untuk menguasai
Selatan. Penggunaan kekuatan militer dapat
dipertimbangkan secara serius karena semakin cepat
menguasai Selatan semakin cepat pula masalah Cina dapat
diselesaikan. Ketiga, Indo-Cina, Hongkong, Indonesia,
dan seluruh pulau bekas jajahan Jerman maupun jajahan
Prancis di Pasifik Selatan merupakan daerah Selatan
yang akan dikuasai oleh Jepang.35 Rapat permusyawaratan
tersebut pada akhirnya menyetujui Garis Pokok
Penanganan Situasi Seiring dengan Peralihan Situasi
Dunia sebagai Haluan Negara Jepang yang kelak
menentukan langkah ekspansi Jepang ke Indonesia.
Rencana ekspansi Jepang ke Selatan dipropagandakan
sebagai upaya membentuk blok swasembada dengan Jepang,
Manchuria, dan Cina, sebagai penyangga utamanya. Blok
swasembada ini dirumuskan sebagai upaya pembentukan
perdamaian dunia sesuai dengan cita-cita mulia Hakko
Ichi-u (delapan benang di bawah satu atap) yang dijiwai
oleh ajaran Sintoisme khususnya mengenai kesatuan umat
manusia. Dalam rangka mewujudkan kesatuan umat manusia
itu, bangsa Jepang memiliki tanggung jawab untuk
membentuk lingkungan kemakmuran bersama di antara
segenap bangsa dengan mencurahkan segala tenaga dan
kekuatannya menurut kesanggupan dan kedudukannya
masing-masing sambil bekerja bersama-sama dalam susunan
persaudaraan, laksana sebuah rumah tangga yang rukun
dan damai.36
Tahap pertama dari upaya Jepang tersebut adalah
membentuk Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya
yang meliputi kawasan Asia Tenggara dengan Jepang,
Cina, dan Mancukuo (Manchuria) sebagai tulang
punggungnya. Tahap pertama ini akan dicapai selama
Perang Dunia II dengan jalan menjalankan beberapa
langkah politik global yang disokong oleh kekuatan
militer. Tahap kedua merupakan pengembangan Lingkungan
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya sehingga akan
meliputi Sri Langka, Australia, Selandia Baru, Oseania,
sebagian Amerika Utara, dan negara-negara di Amerika
Tengah.37
Meskipun Pemerintah Jepang secara terbuka
menetapkan Indonesia sebagai salah satu wilayah
pengembangan negara Jepang, tetapi mereka bertindak
sangat hati-hati terhadap wilayah yang masih dikuasai
oleh Kerajaan Belanda tersebut. Jalur diplomasi menjadi
pilihan awal bagi Pemerintah Jepang agar kepentingannya
di Indonesia tidak terancam. Setidak-tidaknya ada dua
faktor yang mendorong Pemerintah Jepang mengambil
kebijakan tersebut. Pertama, kekuatan militer negaranegara
Barat (Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis)
tersebar secara merata sepanjang Jepang-Indonesia.
Doktrin Angkatan Laut Jepang memperlihatkan
kecenderungan untuk “secara ketat menghindari pemakaian
militer terhadap Selatan karena dikhawatirkan dapat
mencetuskan perang dengan Amerika Serikat”.38 Kedua,
baik kalangan Angkatan Laut maupun Angkatan Darat
Jepang merasakan bahwa pengetahuan mereka tentang
daerah Indonesia masih sangat kurang. Pengetahuan yang
minim ini sangat membahayakan ditinjau dari sudut
strategi militer sehingga Pemerintah Jepang tidak
langsung menggunakan kekuatan militernya karena tidak
mau mengambil risiko tinggi.
Kegiatan diplomatik yang dilakukan oleh Jepang
untuk mengatasi Indonesia diawali dengan pertukaran
nota perdagangan antara Pemerintah Jepang dan
Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Pada tanggal 20
Mei 1940, Arita Hichiro (Menteri Luar Negeri Jepang)
mengirim nota tersebut kepada Perdana Menteri Kerajaan
Belanda. Nota itu berisi tuntutan Pemerintah Jepang
bahwa dalam keadaan bagaimanapun Pemerintah Hindia Belanda
di Indonesia harus tetap melakukan pengiriman
sumber daya alam vital ke Jepang dengan jumlah yang
telah ditentukan oleh Pemerintah Jepang. Sumber daya
alam tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.39
No
.
Jenis
Komoditas
Jml Permintaan
(dalam ton)
No
.
Jenis
Komoditas
Jml Permintaan
(dalam ton)
1. Timah 3.000 7. Wolfram 1.000
2. Karet 20.000 8. Besi Tua 100.000
3.
Minyak
Mineral
1.000.000 9. Bijih Besi
Kromium
5.000
4. Bauksit 200.000
10
.
Garam 100.000
5. Bijih Nikel 150.000
11
.
Benih Jarak 4.000
6. Bijih Mangan 50.000
12
.
Kulit Kina 600
Meskipun demikian, Pemerintah Hindia Belanda belum
memberikan nota balasan sehingga pada tanggal 28 Mei
1940 Pemerintah Jepang kembali mengirim nota yang
isinya tidak jauh berbeda dengan nota sebelumnya di
bawah tekanan kelompok ekstremis-nasionalis.40
Pada bulan Juni 1940, Pemerintah Hindia Belanda
baru membalas seluruh nota Pemerintah Jepang. Melalui
nota balasannya itu, Pemerintah Hindia Belanda
menegaskan bahwa (1) sesuai dengan isi perjanjian Hart-
Ishizawa, perdagangan antara kedua negara akan terus
dilanjutkan, (2) Pemerintah Hindia Belanda meminta
Pemerintah Jepang untuk memahami bahwa negaranya berada
dalam keadaan perang dan menyatakan puas terhadap
jaminan Jepang atas status Hindia Belanda, (3)
Pemerintah Hindia Belanda menolak keinginan Pemerintah
Jepang untuk memasukan rakyatnya ke Hindia Belanda
meskipun dikaitkan dengan keperluan tenaga kerja, (4)
Pemerintah Hindia Belanda akan berusaha untuk memenuhi
kebutuhan Jepang atas bahan pertambangan, tetapi tidak
dapat memenuhi kebutuhan Jepang atas minyak karena
dinilai tidak rasional.41
Pada bulan Agustus 1940, Perdana Menteri Koshu
mengangkat I. Kobayashi sebagai ketua delegasi Jepang
untuk melakukan perundingan dengan Pemerintah Hindia
Belanda. Tuntuntan yang akan disampaikan oleh Kobayashi
kepada Pemerintah Hindia Belanda memperlihatkan
kecenderungan yang bersifat ekspansionis. Pertama,
imigrasi tak terbatas bagi orang-orang Jepang; kedua,
kebebasan berlayar dan penerbangan antarpulau; serta
ketiga, hak eksploitasi kekayaan alam di seluruh
Indonesia. Delegasi Kobayashi memulai perundingan
dengan Pemerintah Hindia Belanda pada bulan September
1940. Akan tetapi, selama perundingan berlangsung
tuntutan tersebut tidak disampaikan kepada Pemerintah
Hindia Belanda karena khawatir mengundang kecurigaan
Amerika Serikat terhadap rencana ekspansi Jepang ke
Indonesia. Selain itu, kegagalan serangan udara Jerman
atas Inggris cukup membuat para pemimpin Jepang harus
lebih waspada dan hati-hati. Akibatnya, misi
perundingan Kobayashi dengan Pemerintah Hindia Belanda
mengalami kegagalan dan pada bulan November 1940 ia
pulang ke negaranya.42
Pada bulan yang sama, Pemerintah Jepang mengangkat
Yoshizawa Kenkichi, anggota Dewan Perwakilan Bangsawan,
sebagai ketua delegasi perundingan Jepang dengan
Pemerintah Hindia Belanda. Perundingannya itu sendiri
baru dilangsungkan pada bulan Januari 1941 dan
Yoshizawa menyampaikan tuntutan yang akan disampaikan
oleh Kobayashi, tetapi dengan bahasa yang lebih halus.
Sampai bulan Juni 1941, kedua delegasi tidak
menghasilkan kesepakatan, tetapi menekankan bahwa
hubungan kedua negara tetap tidak berubah. Yoshizawa
beserta seluruh anggota delegasi Jepang pulang ke
negaranya pada tanggal 27 Juni 1941.43
Kegagalan penggunaan jalur diplomatik itu disebabkan
oleh ketidakseriusan Pemerintah Jepang untuk
memperoleh minyak Indonesia melalui jalan damai. Pemerintah
Jepang justru menjadikan jalur diplomatik ini
sebagai kedok bagi kegiatan spionasenya di Indonesia.
Kenyataan ini yang membuat Pemerintah Hindia Belanda di
Indonesia menjadi tidak senang seperti tercermin dalam
sebuah telegram tanggal 27 Juni 1941 dari Konsul
Jenderal Ishizawa kepada Menteri Luar Negeri Matsuoka
yakni “… Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia tidak
senang karena anggota utusan militer pihak Jepang seolah-
olah lebih terkonsentrasi dalam mengamati dan meneliti
berbagai wilayah Hindia Belanda daripada mengurus
administrasi perundingan perdagangan”.44
Kegiatan spionase yang mengekor pada jalur
diplomasi tidak dapat dilepaskan dari upaya Markas
Besar Angkatan Darat Jepang untuk memperoleh
pengetahuan tentang Indonesia. Tidak dapat dipungkiri
bahwa kegiatan ini merupakan persiapan pramiliter yang
dilakukan oleh Pemerintah Jepang berkaitan dengan
rencana ekspansinya ke Indonesia. Kegiatan ini
dilakukan dengan cara mengirim langsung agen-agen
intelijen ke Indonesia dengan kedok sebagai juru
runding, pedagang, dan dengan cara memanfaatkan orangorang
Jepang yang ada di Indonesia.
Cara pertama secara intensif mulai dilakukan oleh
Markas Besar Angkatan Darat Jepang sejak awal Juli 1940
seiring dengan pengiriman tiga orang perwira
menengahnya ke Indonesia, yakni Mayor Shiho Kenkichi
(Kepala Bidang Urusan Bahan Keperluan Militer Seksi ke-
3), Mayor Okamura Seishi (Staf Seksi Operasi Militer
Mabes AD), dan Mayor Kato Nagazo (pegawai seksi di Biro
Pembenahan Departemen Angkatan Darat). Ketiga perwira
menengah tersebut bertugas di Indonesia selama dua
bulan dan berkewajiban melakukan penelitian mengenai
perencanaan, bahan-bahan keperluan, taktik perang,
sandang, sanitasi, dan sebagainya sebagai persiapan
dari rencana invasi Jepang ke Indonesia.45 Hasil
penelitian ketiga perwira Angkatan Darat Jepang
tersebut digambarkan oleh Okamura Seishi sebagai
berkut.
Setelah melakukan penelitian selama dua bulan di
Hindia Belanda, timbul dorongan untuk membebaskan
bangsa-bangsa teraniaya … dengan baju yang compangcamping,
rumah beratap rumbia, muka-muka yang mirip
dengan dirinya tetapi badannya kurus-kurus, yang
pada waktu itu merupakan pembelokkan nasib terbesar
dalam sejarah dunia … Untuk dapat membebaskan
mereka diperlukan kekuatan militer sebanyak satu
setengah divisi karena kita tidak dapat mengabaikan
kekuatan militer Hindia Belanda, terutama Angkatan
Darat Hindia Belanda yang berkekuatan sekitar seratus
ribu orang”.46
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Markas Besar
Angkatan Darat Jepang kemudian diolah sedemikian rupa
sehingga menghasilkan sebuah buku yang berjudul Naskah
Rencana Petunjuk Perang terhadap Selatan. Dalam naskah
tersebut secara tegas dikatakan bahwa invasi yang akan
dilakukan oleh militer ke Indonesia semata-mata berkaitan
dengan kepentingan Jepang untuk “menduduki dan
menjamin daerah sumber daya alam yang penting dengan
menyerang secara mendadak terhadap Hindia Belanda tanpa
menyentuh Singapura”.
Kegiatan spionase menjadi alternatif lain dalam
upaya Jepang menghimpun informasi tentang Indonesia.
Angkatan Laut Jepang menjadikan nelayan sebagai agen
bagi kegiatan spionasenya di Indonesia. Dalam kurun
waktu 1940-1941, di perairan Indonesia tersebar sekitar
500 kapal nelayan yang mengangkut sekitar 4.000 orang
nelayan. Para nelayan ini melakukan kegiatan spionase
dengan cara melanggar undang-undang nelayan Hindia
Belanda sehingga akan memberikan legitimasi bagi Jepang
untuk melakukan penyerangan. Selain itu, para pemotret
dan tukang cukur Jepang memasuki Indonesia dan
melakukan perjalanan sampai ke daerah-daerah terpencil.
Tidak banyak hasil ekonomis yang dihasilkan oleh mereka
kecuali informasi yang dibutuhkan oleh negaranya. Oleh
karena itu, menurut Pemerintah Hindia Belanda mereka
merupakan kelompok masyarakat Jepang yang paling banyak
melakukan kegiatan spionase di Indonesia.47
Sumber kegiatan spionase Jepang yang lain adalah
perusahaan-perusahaan milik Jepang yang ada di
Indonesia. Mereka berusaha di lapangan-lapangan
eksploitasi hutan, pertambangan, dan lain-lain.
Keuntungan ekonomi yang harus diraih oleh mereka tidak
lagi menjadi hal yang penting. Hasil terpenting yang
harus mereka peroleh adalah mendapatkan informasi
mengenai basis-basis ekonomi di Indonesia. Salah
seorang pelaku kegiatan ini adalah Ishihara pemilik
Nanyo Veem dan tokoh nasionalis-ekstrem Jepang yang
tinggal di Indonesia. Demikian juga dengan para
diplomat, sebagian ada yang dibebaskan dari tugas-tugas
diplomatiknya karena harus melakukan pekerjaan
spionase. Wakil Konsul Tagaki dari Konsulat Jepang di
Batavia merupakan contoh yang paling baik dari kasus
ini.48
Selain mengirim langsung para agen rahasianya ke
Indonesia, Pemerintah Jepang pun melakukan penelitian
tentang Indonesia dengan cara memanfaatkan orang-orang
Jepang yang tinggal di Indonesia, baik secara
individual maupun melalui perkumpulan yang ada. Sampai
meletusnya Perang Pasifik, orang-orang Jepang yang
tinggal di Indonesia berasal dari dua generasi yang
masing-masing memiliki latar belakang berbeda. Generasi
pertama memperlihatkan sikap moderat sehingga
Pemerintah Hindia Belanda pun dapat menerima keberadaan
mereka di Indonesia. Pada akhir tahun 1920-an, Aneha
Junpei (Konsul Jepang di Surabaya) mengatakan bahwa
kehidupan orang-orang Jepang di Indonesia sangat baik
karena kebijakan Pemerintah Hindia Belanda tidak
bersifat diskriminatif. Terlebih lagi sejak tahun 1898
secara hukum Pemerintah Hindia Belanda menempatkan
bangsa Jepang sejajar dengan bangsa kulit putih dalam
hierarki masyarakat kolonial. Dengan kedudukannya itu,
mereka bergerak dengan aman di bidang perdagangan di
bawah perlindungan Pemerintah Hindia Belanda sebagai
bentuk realisasi dari persahabatan Jepang-Hindia
Belanda. Sampai tahun 1936, masyarakat Jepang di Hindia
Belanda merupakan sebuah komunitas sosial nonpolitis.
Oleh karena itu, sangatlah wajar kalau Pemerintah
Hindia Belanda melaporkan masyarakat Jepang sebagai
masyarakat yang tidak banyak tingkah karena tidak
pernah berhubungan dengan aktivitas subversi atau
spionase.49
Meskipun demikian, sebagian masyarakat Belanda
mengingatkan pemerintahnya untuk tetap waspada terhadap
masyarakat Jepang di Hindia Belanda karena pertumbuhan
negara Jepang dapat mengancam eksistensi mereka di
Hindia Belanda.50 Kekhawatiran tersebut lambat laun
terbukti seiring dengan semakin memburuknya hubungan
persahabatan antara Jepang dan Hindia Belanda.
Kebijakan Pemerintah Jepang untuk melakukan ekspansi ke
Indonesia berdampak pada perubahan sikap masyarakat
Jepang di Indonesia. Perubahan sikap ini terutama
diperlihatkan oleh masyarakat Jepang yang datang ke
Indonesia sejak tahun 1930-an. Generasi kedua ini
memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada
generasi pertama. Sikap mereka terhadap situasi politik
pada saat itu dilandasi oleh semangat nasionalisme. Hal
ini terlihat dari perkataan Ishii Taro, seorang pemilik
toko dan pemuka masyarakat Jepang di Batavia
Di dalam tubuh kita yang berdomisili di luar negeri
pun masih mengalir darah bangsa Jepang yang sama,
karena itu bila suatu saat terjadi keadaan darurat
yang menyangkut hidup matinya tanah air kita,
tentunya kita tidak bisa berdiam diri. Tetapi pada
saat damai kita harus meninggalkan hal-hal lain
selain berusaha bekerja sama dengan orang-orang
asing di bidang pertanian ataupun perdagangan
dengan tekad mengakhiri hayat di sini. Demi
meningkatkan kesejahteraan ekonomi Asia Pasifik ini
saya anggap hal itu sebagai suatu misi damai yang
penting bagi bangsa Jepang saat ini.51
Semangat nasionalisme yang tumbuh dalam masyarakat
Jepang di Hindia Belanda sejak akhir tahun 1930 membawa
mereka pada kegiatan yang bersifat politis. Bidang
perdagangan yang selama ini mereka tekuni lambat laun
dijadikan sebagai sarana bagi kegiatan politik, yakni
mengirim informasi mengenai Indonesia yang diperlukan
ke negaranya. Dengan perkataan lain, masyarakat Jepang
di Hindia Belanda yang mayoritas pemilik toko tersebut
melakukan kegiatan spionase sebagai bentuk kepedulian
terhadap negaranya sesuai dengan tekad mereka “bila
suatu saat terjadi keadaan darurat yang menyangkut
hidup matinya tanah air kita, tentunya kita tidak bisa
berdiam diri”. Kegiatan ini direkam oleh Sewaka, yang
bekerja di beberapa tempat di Jawa Barat sebagai
pegawai tinggi Pemerintah Hindia Belanda pada masa
sebelum perang.
Toko Jepang berlaku sopan kepada orang Indonesia,
lagi pula dagangan mereka dijual dengan harga yang
murah sehingga mampu memikat hati pembeli.
Perdagangan mereka tidak hanya dilakukan di toko
melainkan juga berkeliling ke desa-desa. Kegiatan
itu sebetulnya merupakan suatu cara untuk mencapai
tujuan tertentu, karena mereka selalu membawa
kamera bila berdagang ke desa-desa.52
Apa yang dinyatakan oleh Sewaka tidaklah
berlebihan, karena pada kenyataannya, masyarakat Jepang
yang memiliki toko tidak sepenuhnya bekerja di sektor
perdagangan. Beberapa di antara pemilik toko sebenarnya
bukanlah pedagang, melainkan mata-mata yang dikirim
oleh Angkatan Darat Jepang sebagai bagian dari strategi
mereka untuk memperoleh informasi mengenai Indonesia.
Di Kota Bandung, misalnya, Toko Tjijoda dikenal sebagai
pusat kegiatan spionase Jepang di kota ini. Pemilik
toko ini sering berhubungan dengan Nishijima Shigetada,
seseorang yang telah bekerja di Indonesia beberapa
tahun sebelum Perang Pasifik pecah.53 Hal yang sama
terjadi juga di beberapa kota besar di Indonesia. Di
Yogyakarta, misalnya, masyarakat Jepang banyak
mendirikan toko untuk memasarkan produk negaranya.
Dalam aktivitasnya, mereka bukan hanya berdagang,
melainkan melakukan juga kegiatan spionase sebagai
bagian persiapan ekspansi Jepang ke Indonesia. Toko
Fuji merupakan salah satu toko milik orang Jepang yang
dikenal sebagai pusat kegiatan spionase di
Yogyakarta.54
Kegiatan spionase yang dilakukan oleh Pemerintah
Jepang sepanjang tahun 1940-1941 pada akhirnya menghasilkan
sebuah rumusan penting bagi rencana operasi
militer Jepang ke Indonesia. Rumusan tersebut disusun
oleh Letnan Kolonel Nakayama Yasuto setibanya di Jepang
setelah sekitar enam bulan melakukan kegiatan spionase
di Indonesia. Rumusan yang dikirim kepada pimpinan
pusat Departemen Angkatan Darat dan Markas Besar Angkatan
Darat berisi beberapa hal penting sebagai persiapan
ekspansi militer Jepang ke Indonesia sebagai berikut.
1. Garis pertahanan pokok Indonesia terdiri atas garis
pertahanan Singapura, Batavia, dan Surabaya.
2. Pendaratan pesawat tempur dan pasukan payung
disarankan untuk tidak dilakukan karena hampir
semua lapangan yang memenuhi syarat untuk
pendaratan telah ditutupi oleh parit.
3. Pembangunan galangan tank-tank sedang dilakukan
sebagai upaya mencegah penerobosan pasukan mekanis.
4. Pemerintah Hindia Belanda sedang melakukan
pendataan secara paksa terhadap orang-orang yang
perlu diperhatikan sebagai langkah antisipasi
mencegah berkembangnya kegiatan “barisan kelima”
(mata-mata).
5. Semua bangunan maupun fasiltas yang penting dalam
negeri sedang diperkuat pertahanannya dengan pembangunan
gardu pertahanan (tockha).
6. Kekuatan Angkatan Laut Hindia Belanda diperkuat dengan
3 buah kapal penjelajah, 7 buah kapal pemburu,
16 buah kapal selam. Pangkalannya terdapat di Surabaya,
Menado, dan Tarakan.
7. Kekuatan Angkatan Udara Hindia Belanda berjumlah
sekitar 500 buah pesawat tempur dengan pesawat
tempur barisan terdepan sebanyak 300 buah. Kekuatan
ini merupakan gabungan antara kekuatan Angkatan
Udara dan Pasukan Udara Angkatan Darat dan Angkatan
Laut Hindia Belanda.
8. Kekuatan pasukan Angkatan Darat Hindia Belanda untuk
hari-hari biasa sebanyak dua divisi dengan
jumlah pasukan sekitar 50.000 orang. Sebanyak
30.000 orang ditempatkan di Pulau Jawa, 8.500 orang
ditempatkan di Sumatra, 4.500 orang ditempatkan di
Borneo (Kalimantan), dan selebihnya ditempat di wilayah
Indonesia bagian Timur.
9. Perlengkapan militernya boleh dikatakan di bawah
kekuatan tentara pusat Cina.
10. Sama sekali tidak terdapat industri berat dan industri
senjata.55
Ketika kondisi dalam negeri Jepang semakin mengarah
terhadap penggunaan kekuatan militer, Nakayama
mengatakan kepada para petinggi militer Jepang bahwa
keberhasilan Belanda menjajah Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari penerapan strategi kebudayaan yang
tepat. Ia menyarankan agar Pemerintah Jepang pun
melakukan hal yang sama dengan cara (1) menghargai adat
istiadat penduduk setempat, (2) menerapkan
kebijaksanaan untuk membodohkan penduduk asli setempat,
(3) menjinakkan dan menindas penduduk asli setempat,
(4) memanfaatkan orang Cina perantauan sebagai kelas
penghisap perantara, dan (5) menyadarkan penduduk asli
setempat bahwa orang Jepang telah ditakdirkan menjadi
pemimpin bangsa-bangsa Asia.
Memasuki bulan Juli 1941, kecenderungan
Pemerintah Jepang menggunakan kekuatan militernya untuk
menguasai dan menduduki Selatan semakin kuat. Hal itu
tercermin dalam Garis Pokok Haluan Negara Kekaisaran
Sesuai dengan Peralihan Situasi yang diputuskan oleh
Konferensi Kemaharajaan (Gozen Kaigi) yang dihadiri
oleh Kaisar, Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri,
Menteri Angkatan Darat, Menteri Angkatan Laut, Menteri
Dalam Negeri, Ketua Dewan Penasihat Pribadi Kaisar,
Kepala Markas Besar Angkatan Laut dan Angkatan Darat.56
Haluan negara tersebut memuat tiga hal penting.
Pertama, Pemerintah Kemaharajaan Jepang bertekad untuk
mengikuti suatu kebijakan yang akan menghasilkan
pembentukan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur
Raya dan Perdamaian Dunia. Kedua, Pemerintah
Kemaharajaan Jepang akan melanjutkan usahanya untuk
mencapai penyelesaian terhadap insiden Cina dan
berusaha membangun dasar yang kokoh bagi keamanan dan
pengamanan bangsa. Hal ini akan meliputi suatu gerak
maju ke daerah-daerah Selatan dan sesuai dengan
perkembangan masa depan, juga penyelesaian persoalan
Uni Soviet. Ketiga, Pemerintah Kemaharajaan Jepang akan
melaksanakan program tersebut di atas meskipun akan
menghadapi halangan apa pun juga.57 Keputusan tersebut
segera diikuti oleh persiapan secara militer dalam
konsep “Memperkuat Barisan Persiapan Strategis terhadap
Utara dan Selatan” (Taihoppo Tainanpo Senryakujin no
Kyokaan). Secara terbuka diputuskan bahwa Jepang akan
melakukan pendudukan terhadap Indo-Cina yang merupakan
jajahan Prancis di bawah tekad “tidak menolak sekalipun
berperang dengan Inggris dan Amerika Serikat”.58
Meskipun keputusan untuk menggunakan kekuatan
militer sudah diambil, namun situasi politik dalam
negeri Jepang masih belum memungkinkan untuk berperang
dengan Amerika Serikat (kekuatan utama Sekutu di
Pasifik). Togo Shigenori melihat haluan negara tersebut
mengandung kontradiksi, yaitu antara damai dan perang.
Di satu pihak, kesiapan Jepang berperang dengan Amerika
Serikat ditanggapi secara hati-hati oleh Kabinet Konoye
yang bahkan dengan tegas masih berusaha untuk menghindari
perang dengan Amerika Serikat. Di pihak lain, pada
tanggal 24 Juli 1941, militer Jepang telah menguasai
sebagian Indo-Cina sebagai awal dari gerakan militer
Jepang mengusai daerah Selatan.59 Penguasaan tersebut
mengakibatkan lahirnya reaksi keras dari Amerika
Serikat dan Inggris, yakni dengan melakukan embargo
total pengeksporan minyak ke Jepang yang diikuti oleh
pembekuan seluruh aset Jepang oleh Amerika Serikat
sejak tanggal 26 Juli 1941.60 Pemerintah Hindia Belanda
pun memperlihatkan reaksi keras terhadap keputusan
militer Jepang menguasai Indo-Cina. Pada tanggal 28
Juli 1941, mereka memutuskan untuk mengawasi secara
ketat semua ekspor ke Jepang dan memperingatkan Jepang
jika pada masa yang akan datang tidak berlaku sesuai
dengan hukum internasional, Pemerintah Hindia Belanda
akan memberlakukan embargo ekonomi total terhadap
Jepang.61
Meskipun mendapat reaksi keras dari Amerika
Serikat, Inggris, dan Belanda, Pemerintah Jepang belum
menyatakan perang terhadap mereka. Pemerintah Jepang
masih berusaha mendapatkan minyak Indonesia melalui
jalan damai melalui perundingan dengan ketiga negara
tersebut. Sikap ini berubah seiring dengan ditetapkannya
Garis Pokok Pelaksanaan Haluan Negara Kekaisaran
(Teikoku Kokusaku Suiko Yoryo). Haluan negara yang
diputuskan dalam Konferensi Kemaharajaan (Gozen Kaigi)
tanggal 6 September 1941 mengambil keputusan bahwa jika
sampai bulan Oktober 1941 perundingan antara Pemerintah
Jepang dan Pemerintah Amerika Serikat tidak memberikan
harapan sesuai dengan keinginan Jepang, mereka akan
segera menentukan sikap untuk “bertekad berperang
terhadap Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda”.62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar